WARTEG, tentu sudah pada familiar kan dengan kata yang satu ini. Apalagi bagi kaum mahasiswa yang sedang dalam masa perantauan atau pekerja kantoran kelas menengah(ntah tengahnya keaatas atau kebawah). Pasalnya tempat yang memiliki nama populer "Penyelamat di Akhir Bulan" dekade belakangan ini sangat menjamur di area sekitar perkampusan dan perkantoran.
Nah, kamu penasaran ngak sih bagaimana asal muasal warteg ini? Baca terus artikel ini sampai habis ya!
Warteg atau Warung Tegal merupakan istilah yang disematkan untuk warung makan siap saji yang menyediakan berbagai macam menu dengan harga yang (umumnya) terjangkau dan tentu porsi yang (umumnya) mengenyangkan. Kedua kondisi tersebut merupakan hal yang sangat menarik untuk kalangan dengan kondisi dompet yang (umumnya) kurang tebal. Nilau plus lainnya adalah ketika makan bisa sambil memandang para pegawai wartegnya. Ntah itu bapak-bapak berkumis tebal dengan baju polos atau mbak-mbak berbaju garis-garis yang kadang bernama Sasa.
Warteg awal mulanya mulai berkembang di Jakarta pada sekitar tahun 1960-1970an. Bukan tanpa alasan mengapa warteg mulai berkembang di kota metropolitan yang sekaligus ibukota NKRI ini, pasalnya pada masa itu pembangunan di kota Jakarta masih getol-getolnya dilakukan pemerintah. Banyak proyek pembangunan baru, entah itu gedung, jembatan, jalan raya, atau mungkin stasiun antariksa yang sampai saat ini belum terlihat, pokoknya banyak proyek pembangunan yang dimulai di kota ini. Masa OrBa gitu lhoo! Semua serba baru, termasuk masalahnya.
Lho, apa hubungannya pembangunan dengan Warteg?
Lho, lho... Dengan jumlah proyek yang luar biasa banyak itu sudah pasti akan membutuhkan banyak tenaga kerja kasar atau kuli atau buruh bangunan. Dan karena sayangnya Bandung Bondowoso sudah pensiun ketika membangun 1000 candi, maka para pekerja ini bukan berasal dari kalangan jin atau makhluk halus lainnya. Melainkan lelaki manusia biasa yang (umumnya) berasal dari daerah atau luar kota Jakarta salah satunya adalah Tegal.
Pada masa itu banyak buruh laki-laki yang juga membawa serta anak, istri, saudara, pokoknya diajaklah keluarganya untuk menetap dan mengadu nasib di kota Jakarta. Bahkan mungkin kalau bisa, akan diajak juga satu dusun untuk pergi ke Jakarta; untungnya hal itu jarang terjadi.
Dengan jumlah pekerja yang kolosal itu tentu mereka juga membutuhkan pasokan makanan yang buanyaakkk sekali. Darimana kira-kira mereka mendapatkan sumber makanan itu? Jumlah pekerjanya kan buanyaak sekali, bahkan mungkin saking banyaknya bisa cukup untuk membangun beberapa tim sepakbola untuk membuat liga sendiri!
Nah, ingat tadi para keluarga dari lelaki kuli bangunan? Beberapa dari para wanita keluarga buruh inilah yang mulai menjual makanan dengan harga murah meriah. Karena pada masa itu harga gerobak juga lumayan mahal, maka awalnya hanya berjualan pikulan di area sekitar proyek. Dengan trademark harga yang murah dan porsi yang banyak, maka banyak lah para kuli bangunan menjadi pelanggan warung-warung kaget ini.
Disinilah istilah "porsi kuli" itu berasal. Istilah ini merujuk pada porsi makan yang besar
Dari yang awalnya berupa pikulan di area pembangunan, warung-warung ini berkembang naik kelas menjadi warung lesehan sebelum kemudian menjadi warung dengan bangunan tetap. Ternyata lama-kelamaan selain buruh bangunan, tukang becak pun banyak yang tertarik untuk mencicipi masakan di tempat itu. Dan tidak sedikit yang kemudian menjadi pelanggan tetap yang ujung-ujungnya membuat warung-warung kaget ini terkenal dan dikenal. Karena kebanyakan pemilik warung memang berasal dari Tegal, maka nama Warung Tegal pun mencuat dari para pelanggan tersebut. Yang kemudian disingkat menjadi Warteg, mungkin untuk menghemat biaya print spanduk dan nama warung.
Viralnya warteg tentu bukan tanpa alasan, yaitu apalagi kalau bukan karena harga murah yang menjadi daya tarik bagi para masyarakat dengan kantong menengah kebawah. Dimana pada era itu jumlahnya lebih banyak dari para kaum sultan dan crazy rich. Jargon yang populer di kala itu adalah "Makan murah, asal kenyang" bukan "#wahmurahbanget"
Kamu tahu ngak kira-kira kenapa mayoritas warung makan itu adalah warteg yang dimiliki orang asal Tegal?
Ya karena masakannya enak.
Eh, tapi kenapa kira-kira mereka bisa jago masak enak untuk orang banyak ya? Sukar lho itu
Jadi begini, pada masa peperangan kerajaan jaman dahulu kala; pokoknya duluuu banget bahkan sebelum film Petualangan Sherina dirilis apalagi Upin dan Ipin, tepatnya pada masa ketika Sultan Agung hendak menyerang Betawi. Tegal dijadikan lumbung padi dan dicap sebagai pusat makanan, orang-orang Mataram yang kala itu akan menyerang Betawi ya semua pada makan disini. Sederhananya kala itu Tegal didaulat sebagai daerah yang tugasnya menyuplai makanan.
Nah, tentu kalau perang jumlah pasukannya tidak sedikit donk, karena itu makanan yang dibutuhkan pun banyak. Inilah cikal bakal yang menjadikan kenapa orang-orang Tegal ini terhitung mantap masakannya untuk disajikan di warteg, karena terbiasa memasak dengan porsi kolosal, porsi untuk orang banyak! Nenek moyangnya bukan pelaut, tapi petani yang ditugasi masak dan ternyata kebetulan pinter masak.
Btw, susah lho masak untuk porsi orang banyak dalam sekali masak, itu termasuk skill masak yang bahkan membuat chef-chef ternama pun iri hati.
Dibalik cerita kota Tegal dan warteg ternyata ada hal yang menarik, jika seseorang asli Tegal buka warung makan di kota Tegal dia belum dianggap sebagai pengusaha warteg sebelum dia membuka warung makan di luar kota Tegal. Sebegitu prestisiusnya bisnis warteg di Tegal, sampai-sampai ada yang namanya Koperasi Warung Tegal (KOWANTARA).
Dengan hadirnya KOWANTARA sejak 2011 ini pengusaha warteg sangat terbantu dengan program-program kerjanya. Karena tidak seperti sebuah dewan perwakilan untuk rakyat yang tidak berpihak pada rakyat, KOWANTARA ini senantiasa mendukung dan menjaga kemakmuran anggotanya.
Para pengusaha warteg tentu berasal dari berbagai daerah yang tersebar di Tegal tapi ada 4 desa yang merupakan kampung halaman dari para pengusaha warteg, yaitu: desa Sidakaton, Sidapurna, Cabawan, dan Krandon. Tidak jelas sejarah kenapa daerah-daerah tersebut menghasilkan pengusaha warteg besar dan sukses di seluruh Indonesia, bisa jadi pada awalnya orang-orang dari daerah itulah yang merintis usaha warteg di kota-kota besar.
Menu makanan warteg awal mulanya didominasi dengan produk pertanian, contohnya orek/oseng tempe, tumis sayur, dan sambal goreng kentang. Tapi seiring perkembangan jaman makin beragamlah menu yang dihadirkan di warteg untuk mengikuti keinginan pasar yang makin beragam. Mulailah banyak muncul menu hewani semacam ikan, ayam, daging, bahkan ada juga warteg yang menyediakan rendang dan steak ayam.
Sekarang ini warteg enthusiast tidak hanya didominasi oleh kalangan menengah kebawah lho. Kalau kamu perhatikan dewasa ini, kamu bisa melihat beragam golongan masyarakat makan di warteg. Mulai dari tukang becak, buruh ketik, goblokers eh food vlogger, afiliator binary option, bahkan gubernur pun terlihat makan di warteg. Walaupun yang terakhir disebut itu jarang sekali terlihat makan di warteg sendirian, pasti bawa tim dokumentasi atau wartawan. Karena itulah generalisasi bahwa warteg itu identik dengan kaum misqueen crazy poor atau pas-pas an sudah tidak valid lagi, warteg sudah naik kelas bung!
Warteg kini tidak hanya hadir di sekitar proyek pembangunan saja, tapi mulai merambah daerah perkantoran, kampus, bahkan daerah pemukiman penduduk. Di Jakarta saja tercatat sudah ada lebih dari 21 ribu warteg! Yes, tidak salah ketik dua-puluh-satu-ribu warteg. Angka 21 yang nol-nya tiga (buka e-nya tiga).
Dengan kondisi padatnya warteg tetangga, tentu saja membuat pengusaha warteg harus memutar akal supaya bisnis mereka tetap bisa bertahan di persaingan pasar yang makin ketat ini. Misalnya membuat warteg dengan konsep yang berbeda seperti warteg prasmanan, warteg AYCE, atau warteg modern.
Tahun 2022, tentu kerasnya persaingan dunia usaha warteg kurang lengkap tanpa kehadiran kaum milenial. Yes, benar saja. Saat ini pengusaha-pengusaha warteg baru dari kaum millenial pun mulai banyak bermunculan dengan konsep warteg yang lebih modern dan tentu dengan menu yang modern pula. Hanya saja menu wajib warteg tetap bisa ditemukan: orek/oseng tempe dan assorted balado, maksudnya apa-apa di balado, bisa telur, kentang, ikan, dan sebagainya.
Konsep warteg modern tentu saja memiliki pangsa pasar yang berbeda, yaitu kaum millenial dengan kantong menengah keatas. Karena biasanya warteg semacam ini menyediakan menu spesifik, misalnya "menu sehat tanpa MSG" atau menu istimewa lainnya yang tentu saja dari bahan bakunya sudah cukup mahal. Tapi menurut saya pribadi dengan perangkat dan perlengkapan modern serta nuansa "warung" yang sedikit artistik rasanya lebih tepat disebut "kafe" daripada warteg.
Memangnya bisa seberapa sukses sih usaha warteg?
Eits, jangan dipandang sebelah mata, pengusaha warteg sukses itu benar-benar kaya raya di kampungnya. Rumah besar dan mewah di kampung selalu menjadi ciri khas pengusaha warteg, banyak pengusaha warteg senior yang naik haji sampai berkali-kali atau bisa membiayai kuliah anak, cucu, sampai cicit di luar negeri.
Bahkan banyak warteg yang menggunakan sistem franchise sebagai jalan ninjanya, semacam warung fast food terkenal yang rasanya tidak enak disebut namanya tapi berinisial KFC dan McD. Salah satu warteg yang memutuskan hijrah dan berwaralaba adalah Warteg Kharisma Bahari (WKB) yang berawal di daerah Jakarta.
Tidak main-main kamu harus merogoh kocek sebesar Rp110 juta untuk membuka waralaba WKB ini, belum termasuk sewa tempat lho. Nah, konon kata empunya, cabang dari WKB ini sudah mencapai 750 cabang yang tersebar di seluruh penjuru pulau Jawa! Dengan jumlah cabang sebanyak itu dengan rata-rata omzet per cabang per hari berkisar Rp5-8juta, bisa dibayangkan kira-kira berapa uang yang berputar di bisnis ini.
Jadi, apakah kamu sudah lapar dan tergoda berkunjung ke warteg terdekat? Atau kamu malah ingin menjadi pengusaha warteg dengan konsep baru? Misalnya warteg di tengah laut.
******
No comments:
Post a Comment