hikayat kuliner masa kini

Petualangan ke seluruh antero Nusantara, mengabadikan hikayat tentang perjalanan kuliner di tanah Nusantara

Kisah Lunpia, Saksi Sejarah Romantisme Lintas Etnik

Tidak dipungkiri lagi, secara historis dan sosiologis (biar kelihatan keren dikit, pake istilah intelek, walaupun mungkin agak kurang pas) makanan merupakan salah satu identitas dari sebuah masyarakat, bahkan identitas bangsa. Jadi tidaklah berlebihan kalau kita katakan ketika makanan dan hidangan khas itu mulai memudar/menghilang maka identitas masyarakat atau bangsa akan terancam.

Berbicara mengenai makanan yang menjadi identitas masyarakat, maka kita(saya) tidak akan lupa dengan Lumpia. Sebuah hidangan, kudapan yang merupakan buah cinta dari insan berbeda etnik. Sebuah kisah romantisme klasik jadul yang mengambil latar di kota Semarang.

Bagaimana ceritanya?
Simak hikayat kali ini!



Lumpia, yang biasa juga disebut sebagai lunpia atau  loenpiyah adalah kudapan berupa rollade atau hidangan yang dibungkus. Isinya macam-macam, tergantung selera, tapi pada umumnya (dan aslinya) akan berisi rebung, telur, dan daging ayam atau udang. Khususnya rebung akan sangat umum ditemui di dalam lumpia. Lunpia ini dihidangkan dengan saus khusus dan juga daun bawang.

Kenapa makan lunpia harus dengan daun bawang? 
Cik Meme (salah satu punggawa Lunpia modern) menerangkan dari cerita para buyutnya, jika dahulu saat lunpia dijadikan kudapan sebagai teman perjalanan. Daun bawang berfungsi untuk menghangatkan badan ditengah perjalanan yang kadang dingin dan banyak angin.

Kisah lahirnya kudapan ini bermula pada pertengahan abad ke-19 dengan latar lokasi adalah kota Semarang, Jawa Tengah. Ya, namanya saja " Lunpia Semarang", ya pasti dari Semarang donk.

Salah satu sudut kota Semarang di tahun 1900an


Lho, ngak selalu begitu bro. Ingat "Bika Ambon" ?
Oh, iya, ada juga yang begitu. Tapi itu lain ceritalah, kali ini kita membahas Lunpia Semarang yang berakar di kota Semarang.

Mari kita lanjutkan.

Kisah romantisme tentunya mempunyai tokoh-tokoh yang berperan membentuk kisah, tidak terkecuali kisah kali ini. Siapa saja tokoh dalam hikayat ini?

Bersatunya Dua Etnik

Alkisah pada pertengahan abad ke-19, berarti sekitar tahun 1850an, tersebutlah  Tjoa Thay Yoe , seorang pemuda asli Cina dari Provinsi Fu Kien datang ke Semarang untuk berdagang. Dia memulai membuka usaha dagang makanan khas China, hidangan bercita rasa asin sejenis martabak berisi rebung dan dicampur daging babi yang digulung. Jualannya laris manis digemari masyarakat Semarang, khususnya masyarakat urban Cina (Tionghoa) dan peranakannya.

Tjoa Thay Yoe


Bagaimana dengan tokoh utama wanitanya?
Di saat bersamaan dengan kehadiran pemuda Cina itu, tersebutlah seorang wanita pribumi bernama Wasih yang merupakan seorang pedagang asli Semarang, menjual hidangan mirip martabak milik Tjoa Thay Yoe. Bedanya martabak Mbok Wasih diisi dengan campuran daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis.

Mbok Wasih


Nah, kedua insan ini berdagang keliling gang-gang kecil di kota Semarang. Walaupun komoditi dagang mereka sama, yaitu camilan atau kudapan, tapi persaingan dagang terbentuk dengan sehat diantara keduanya. Karena target pasar mereka sama, tentu saja mereka sering bersua, paling tidak tatap muka walaupun cuma melengos (sekilas) saja. Lambat laun, keduanya menjadi sahabat dan bahkan saling bertukar resep.

Seiring berjalannya waktu, entah bagaimana mulanya ternyata tumbuh perasaan " anu" diantara keduanya. Hingga akhirnya, tahun 1870 kedua pedagang itu menikah. 

Ungkapan Jawa kuno ini sangat cocok untuk menggambarkan kisah mereka:  Witing Tresno Jalaran Soko Kulino. Terjemahan bebasnya " Cinta itu timbul lantaran sering ketemu

Tapi mungkin sebenarnya lebih tepat " perasaan cinta itu timbul lantaran selalu kepikiran", ketika sedang bersaing tentu saja akan memikirkan tentang rivalnya. Tapi bukan pikiran yang jelek-jelek, misalnya merencanakan akal bulus yang picik bin lick. Tidak seperti itu Ferguso!

Persaingan mereka sehat kok, pokoknya kalau Engkoh Tjoa jual 10 Lumpia, Mbok Wasi mesti jual 20 dan sebaliknya. Lantaran sering bersaing, Engkoh Tjoa setiap hari pikirannya hanya ada pada Mbok Wasih,  jadi ya terpupuklah benih-benih itu.

Sangat klise kan..tapi terlepas ini benar atau tidak, anggap saja ini sebagai bumbu dalam hikayat ini.

Lahirnya hidangan Akulturasi "Loenpia Tjoa-Wasih"

Karena pada dasarnya kedua insan ini berbeda etnik maka setelah menikah terjadilah yang namanya alkulturasi budaya diantara keduanya. Ternyata akulturasi ini terbawa sampai ke dapur, yang tentu saja berpengaruh pada masakan yang diproses dan dihasilkan.

Dalam proses alkulturasi budaya ini mereka lalu berpikiran untuk membuat jajanan baru yang kemudian menjadi kudapan khas Semarang. Hidangan yang merupakan gerbang pemersatu kehidupan mereka, dengan menggabungkan budaya antara Tionghoa dan Jawa pada racikannya, maka lahirlah kudapan yang bernama Lunpia dengan merk dagang " Loenpia Tjoa-Wasih ".


Sepaket komplit Lunpia Semarang


Ada kisah unik dibalik nama " Lunpia", berkaitan dengan lokasi dagang mereka. Setelah menikah dan melakukan merger usaha, mereka berdagang di pasar malam di  Olympia Park, Semarang yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1900an awal.

Nah, kudapan yang mereka jual itu sebelumnya belum bernama lunpia. Ya, masih tanpa nama, hanya "jajanan" saja disebutnya. Tapi saking terkenalnya akhirnya banyak yang menyebut " jajanan olympia". Kata " Olympia" ini sukar sekali untuk diucapkan oleh penduduk jawa kala itu, akhirnya pengucapan bergesar perlahan:  olympia, lympia, akhirnya menjadi " lunpia".

Tapi sebenarnya ada teori yang lebih masuk akal. Orang Semarang sendiri ada yang menyebutnya Lunpia dan ada juga yang menyebutnya Lumpia, keduanya tidaklah salah. Lun atau lum berarti lunak atau lembut, tergantung pada dialek pengucapnya. Pia sendiri berasal dari dialek Hokkian yang berarti kue. Jadi "lunpia" adalah kue yang lembut, karena pada awal mulanya memang lumpia Semarang ini tidak digoreng melainkan hanya dibungkus dengan kulit tipis yang lembut.

Namun, terlepas apakah kedua hal tersebut adalah fakta atau bukan, tapi merupakan sebuah bumbu klasik kisah sejarah yang menarik untuk diwariskan.

Kudapan yang Cino-Njowo Banget

Berbicara mengenai racikan, perubahan yang paling menonjol adalah hilangnya isian daging babi yang diganti dengan daging ayam. Tapi tentu saja tidak hanya sebatas melakukan substitusi isian saja (daging babi ke daging ayam), ada perpaduan yang awalnya hanya berisi potongan rebung kemudian ditambahkan juga telur ayam serta bumbu rempah lainnya agar rasanya semakin nikmat. 

Eh sebentar, kenapa daging babi-nya disubstitusi?
Ya untuk memperluas pasaran. Karena pada masa itu memang sudah banyak, bahkan bisa dikatakan mayoritas masyarakat Semarang itu beragama Islam (muslim). Jadi kalau pakai daging babi, jelas donk pangsa pasar sebesar itu akan hilang. Dan tentu saja sebagai pedagang mereka tidak rela untuk kehilangan omset di depan mata.

Lunpia memang memiliki rasa istimewa khas Semarang yang memadukan rasa gurih, asin, dan manis. Rasa yang kalau kita pinjam komentar salah satu pakar kuliner Nusantara, "Rasa ne ki  cino njowo bangetlah" ("Rasanya itu Cina-Jawa bangetlah"). Jadi maksudnya adalah hidangan yang dari gayanya adalah khas Cina apalagi dengan penggunaan rebung, tapi rasanya itu manis yang  njawani (orang jawa, khususnya Jawa Tengah menyukai rasa manis).

Rebung


Pada akhirnya pasangan ini akhirnya mulai fokus untuk membuat dan menjual lunpia saja, pada kala itu mereka sudah berdagang menggunakan gerobak kecil yang didorong. Gerobak ini selalu dinanti-nanti oleh para fans mereka pada masa itu.

Generasi Dinasti Lunpia Semarang


Setiap permulaan pasti akan ada akhir, 
dan tiap akhir akan selalu membuka jalan untuk permulaan yang baru

Ungkapan kuno itu sangat tepat disematkan pada perjalanan Lunpia Semarang ini. Satu generasi pasti akan habis pada masanya, kemudian akan digantikan dan disempurnakan oleh generasi selanjutnya.Tidak terkecuali dengan Dinasti Lunpia Semarang ini.

Mari kita lihat pejalanan Dinasti Lunpia Semarang ini per generasi.

Generasi ke-1: “ Loenpia Tjoa-Wasih

Yap, benar. Ini adalah lunpia yang dibuat oleh engkoh Tjoa dan Mbok Wasih. Lunpia yang menjadi cikal bakal Lunpia Semarang ini sudah menjadi favorit dan dicari-cari oleh banyak orang di kota Semarang. “ Loenpia Tjoa-Wasih” adalah resep lunpia tertua di Semarang yang sekarang dikenal dengan Lunpia Gang Pinggir, sampai saat ini masih beroperasi di tempat yang sama.

Pada tahun 1930 Tjoa Thay Joe tutup usia, meninggalkan Mbok Wasih dengan anak dan menantunya. Sang putri tunggal mereka, Tjoa Po Nio dan menantunya Siem Gwan Sing meneruskan usaha lunpia keluarga mereka dengan berbekal resep yang sudah diwariskan.

Bagaimana dengan Mbok Wasih?
Mbok Wasih hanya mengawasi anak dan menantunya mejalankan bisnis lumpia saja. Hingga tahun 1956, Mbok Wasih menyusul suaminya pada usianya yang ke-90 tahun.

Sepeninggalan mereka berdua, tidaklah menjadi akhir dari dinasti Lunpia di kota Semarang. Malah menjadi jalan pembuka untuk berdirinya dinasti Lunpia yang sampai saat ini masih berjalan.

Generasi ke-2: Tjoa Po Nio dan Siem Gwan Sing (1930)

Generasi ke-2 Dinasti Lunpia Semarang


Sepeninggal Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasih, seperti dikatakan tadi resep asli lunpia diwariskan kepada putri dan menantunya. Kala itu jajanan lumpia sudah viral dan menjadi primadona di kalangan warga Semarang baik keturunan Tiongkok maupun penduduk asli Semarang. Kalau untuk ukuran jaman ini mungkin akan muncul hashtag dan challenge tentang lunpia.

Pada masa generasi ke-2 ini, resep  Loenpia Tjoa-Wasih masih dipertahankan keasliannya.


Generasi ke-3: Siem Swie Nie, Siem Swie Kiem, Siem Hwaa Nio (1960)

Generasi ke-3 Dinasti Lunpia Semarang


Tiga dari empat anak dari pasangan pembuat Lunpia generasi kedua (Siem Gwan Sing & Tjoa Po Nio) melanjutkan perjuangan kakeknya untuk menjajakan lumpia di kota Semarang. Ketiganya bahkan memiliki merk dan wilayahnya sendiri-sendiri.

Generasi ke-3 merupakan masa transisi resep, karena seiring berkembangnya jaman maka perubahan akan kehidupan masyarakat akan terasa. Tidak terkecuali nilai dalam rasa (kuliner) yang dikehendaki, kalau jaman dulu " yang penting makan", maka sudah beralih menjadi " Ayo, makan enak". 
Karena alasan inilah permintaan akan variasi dalam makanan sangatlah tinggi. Maka terjadilah penyesuaian dan pengembangan resep pada generasi ke-3 ini. Kita sebut "pengembangan" karena memang tujuan resep itu berubah adalah pengembangan pasar. Jadi bukan hanya "berubah" karena "mau" berubah, tapi "harus" berubah.

Siem Swie Nie yang hingga kini masih dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang lebih dikenal oleh warga Semarang dengan nama Mbak Lien. Lumpia Mbak Lien ini bisa kita temukan di Jalan Pemuda. Pengembangan resep yang tejadi adalah penambahan potongan/suwiran ayam kampung yang memiliki rasa dan aroma yang khas. Ketika awal mula meneruskan usaha almarhum ayahnya, Mbak Lien membuat tiga macam lumpia, yaitu lumpia isi udang, lumpia isi ayam (untuk yang alergi udang), dan lumpia spesial berisi campuran udang serta ayam. Tetapi, karena merasa kerepotan dan apalagi kebanyakan pembeli suka yang spesial, sekarang Mbak Lien hanya membuat satu macam saja, yaitu lumpia istimewa dengan isi rebung dicampur udang dan ayam.

Toko Lunpia Mbak Lien


Siem Swie Kiem dengan lumpia yang dijualnya di gang Lombok (Pecinan) sehingga lebih dikenal dengan sebutan Lumpia gang Lombok. Bahkan nama "Lunpia Gang Lombok" ini sudah dipatenkan pada tahun 1996. Nah, Lunpia inilah yang dikatakan tadi sebagai yang tertua, karena melanjutkan eksistensi toko asli generasi pertama dan kedua. Perubahan resep yang tejadi adalah penambahan potongan/suwiran ayam kampung yang memiliki rasa dan aroma yang khas.

Toko Lunpia Gang Lombok


Siem Hwa Nio yang menjajakan lumpianya di daerah Mataram, merupakan cikal bakal Lunpia Mataram.

Toko Lunpia Mataram yang asli

Eh, sebentar, anaknya kan 4 ya?
Iya, ada 4. Tapi yang satu sesuai cerita tidak bergelut di dunia persilatan lunpia ini. Jadi ya tidak masuk ke hikayat ini.

Generasi ke-4: Tan Yok Tjay (1980)

Pada masa ini Lunpia kian dikenal luas oleh masyarakat kota Semarang bahkan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Tan Yok Tjay mendapatkan julukan sebagai M aster Chef Lunpia Mataram karena dedikasinya melanjutkan perjuangan keluarganya untuk melestarikan makanan tradisional Lunpia Semarang. Tan Yok Tjay bahkan sempat mengalami perjuangannya sendiri saat menjual lunpia dengan mendorong gerobak di Jalan Mataram dan sekitarnya.



Lunpia Semarang generasi pertama dan kedua, jualannya keliling pake pikulan. Belum pakai gerobak. Hanya dipikul, kemudian berjalan dari kampung ke kampung lain sambil teriak-teriak " lunpia!", ya kamu mungkin familiar dengan " mijon-mijon, kua-kua" semacam itulah. 

Jika ada yang beli, baru menggulung lunpia, kemudian digoreng. Katanya sih dari dulu memang disajikan hangat. Kalau ada yang beli cuman satu biji, tetap dilayani.

Ketika Tan Yok Tjay menerjuni dunia persilatan lunpia, sudah pakai gerobak. Tapi masih keliling. Jadi menurutnya dia masih ingat betul bagaimana beratnya mendorong gerobak lunpia. Maklum, saat itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Jangan dibayangkan ini adalah Songoku atau Songohan ya, ini adalah manusia biasa berusia paling seumuran anak kelas 2 SD, jadi yang bisa dibayangkan bagaimana beratnya gerobak itu untuk dia kala itu.

Kok ngak sekolah?
Menurut dia sih, dia memang lebih suka dagang daripada sekolah. Ya udah passion-nya, gitu aja. 

Awalnya, gerobak lunpia tersebut diparkir di dekat Pasar Johar setelah berkeliling kampung. Di sana, lunpianya cukup laku. Saat sisa, dalam perjalanan pulang, gerobak itu mampir di Jalan Mataram. Ada salah satu pemilik toko di Jalan Mataram yang mempersilakan Tan Yok Tjay berjualan persis di depan tokonya. Mungkin orang itu melihat "cuan" dalam diri Tan Yok Tjay, yang ternyata memang cuan yang sangat cuan sekali.

Di sana, pembelinya lebih banyak ketika mangkal di Pasar Johar. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjualan di sana dan meninggalkan Pasar Johar.

Toko Lunpia Mataram yang asli


Generasi ke-4 ini juga merupakan generasi transisi menuju Lunpia " modern". Penerus Tan Yok Tjay adalah Melani Sugiarto (Tan Siaw Mei), masih mengusung nama Lunpia Mataram yang kini berjualan di Jalan Mataram, dan Meliani Sugiarto (Tan Siaw Lian) atau Cik Meme yang membuka gerai Lunpia Delight di Jalan Gajahmada. Kedua wanita ini akan mengantar kita ke generasi ke-5.

Generasi ke-5: Melani Sugiarto/Tan Siaw Mei dan Meilani Sugiarto/Cik Me Me(2014)

Salah satu generasi penerus ke-5 dari silsilah keluarga pencipta Lunpia Semarang adalah wanita bernama Meilani Sugiarto atau yang lebih akrab disapa Cik Me Me. Sejak kecil Cik Me Me sudah membantu ayahnya menggulung lumpia. Putri dari Tan Yok Tjay tersebut kini membranding lumpia menjadi sebuah restoran dan pusat oleh-oleh Semarang dengan nama Lunpia Delight. Maka tidak berlebihan kalau Cik Me Me ini kita sebut sebagai ikon Lunpia modern.



Di tangan dinginnya, Lunpia Semarang semakin dikenal di mancanegara dengan berbagai promosi dan inovasi yang dilakukan. Antara lain dengan menciptakan berbagai varian rasa lumpia seperti isi kakap, kepiting, kambing jantan muda, bahkan isi jamur dan kacang mede.

Inovasi yang dilakukan oleh Cik Me Me tersebut bahkan sempat diganjar dengan penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (LEPRID) sebagai brand lumpia dengan varian menu terbanyak. Cik Me Me sendiri kini dikenal sebagai ikon wanita pejuang atas usahanya melestarikan tradisi kuliner kota Semarang, hal itu dibuktikan dengan meraih penghargaan Kartini Award pada tahun 2014.

Lunpia Cik Meme sendiri beralamat di Jalan Gajahmada Nomor 107 Semarang, gerai tokonya sekaligus kafe selalu ramai pengunjung. Pengunjung bisa menikmati sembari nongkrong atau bisa juga  take away dibawa pulang untuk dinikmati di rumah maupun dalam perjalanan.


Toko Lunpia Cik Meme



Bagaimana dengan Tan Siaw Mei?
Ya, jadi generasi ke-3 dari Lunpia Mataram. Udah, gitu aja.

Lunpia Semarang Masa Kini

Kalau dirangkum, maka turunan dari Loenpia Tjoa-Wasih bisa kita tulis sebagai berikut:
  • Aliran Gang Lombok (Siem Swie Kiem),
  • Aliran Jalan Pemuda (Siem Swie Hie),
    • Lunpia Mbak Lien
  • Aliran Jalan Mataram (Siem Hwa Nio).
    • Lunpia Mataram Generasi 3 
    • Lunpia Cik Me Me

Selain keluarga-keluarga leluhur pencipta lumpia semarang tersebut, sekarang banyak juga orang-orang ”luar” yang membuat lumpia semarang. Mereka umumnya mantan karyawan mereka. Mereka yang mempunyai hobi kuliner juga turut meramaikan bisnis lumpia semarang dengan membuat lumpia sendiri, seperti Lumpia Ekspres, Phoa Kiem Hwa dari Semarang International Family and Garden Restaurant di Jalan Gajah Mada, Semarang.

Oh, ya ada bonus dari Cik Me Me. Bagi yang penasaran atau mau melihat jalur famili lunpia Semarang, bisa cermati gambar berikut:



Begitulah kira-kira hikayat mengenai Lunpia Semarang, hidangan yang diawali oleh pertemuan antara dua etnik berbeda yang bersatu membentuk sebuah akulturasi budaya dan menghasilkan hidangan kudapan yang menjadi ikon kota Semarang.

Sampai jumpa di hikayat berikutnya.

*****

Pengin bikin lunpia tapi ga tau resepnya? Tunggu rilis artikel manuskrip resep lunpia anti gagal hanya di coolinerculinary.


No comments:

Post a Comment

@templatesyard